Ini adalah kisah yang lebih luas dari genangan air, lebih kuat dari arus yang menggila: Cinta Terakhir Seorang Ibu
Banjir datang tiba-tiba. Bukan genangan biasa, melainkan air bah yang menelan segalanya. Di sebuah rumah sederhana di Simpang Empat Merdu, seorang ibu muda hanya punya waktu untuk satu hal: menyelamatkan buah hatinya.
Air sudah mencapai atap. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat Anaknya ke celah plafon, lalu berjuang naik ke atap. Namun, rumah mereka tak sanggup bertahan; ia tenggelam dalam hitungan menit.
Sang ibu melihat satu-satunya harapan: Pohon Mangga di dekat rumah.
Dengan sisa tenaga, ia berpegangan pada batang pohon,memanjat sambil mendekap erat sang Anak. Di tengah angin dan arus yang dingin, ia melakukan hal terakhir yang bisa ia lakukan:
Ia mengikat tubuh anaknya dengan sehelai kain ke dahan pohon, memastikan buah hatinya aman, tak peduli apa yang terjadi padanya sendiri.
Ikatan itu kuat. Ikatan itu adalah janji seorang ibu. Saat ia mencoba mencari posisi yang lebih baik, takdir berkata lain. Tubuhnya terpeleset. Dalam sekejap, sang ibu terlepas dari pohon, ditelan oleh arus banjir yang ganas.
Ia menghilang—meninggalkan anaknya yang terikat, aman, tetapi kini sendirian.
Anak itu bertahan di dahan pohon mangga, menggigil, menunggu tanpa tahu bahwa pelukan ibunya tak akan pernah kembali.
Ketika air surut, warga menemukan sosok kecil itu. Mereka menangis saat menyadari: Anak ini selamat, karena cinta seorang ibu yang tak pernah surut.
Ibu itu telah pergi. Tetapi di Simpang Empat Merdu, setiap orang kini tahu: Cinta yang abadi itu ada. Ia terukir di batang pohon mangga, menjadi pengingat bahwa seorang ibu adalah pahlawan sejati, bahkan ketika dunianya sendiri harus tenggelam.
Gambar ilustrasi


