terkini

Iklan

Pengelolaan Situs Sejarah di Tentukan Dengan Status Kepemilikan Tanah

Zulfitri ( Admin )
09 September 2025, 07.59 WIB Last Updated 2025-09-09T15:56:06Z

 

Wakil Ketua DPRK Banda Aceh dari Partai Nasdem, Daniel Abdul Wahab SPd •



AJN - BANDA ACEH, Pengelolaan situs sejarah di Banda Aceh masih menjadi pertanyaan, terutama terkait kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan situs-situs budaya tersebut.


Perlu dilakukan peninjauan lebih lanjut mengenai status kepemilikan dan pengelolaan situs-situs sejarah di Banda Aceh untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan pelestarian yang tepat.


Menurut Kabid Aset Pemkot Banda Aceh, Harisman, Taman Putroe Phang dan Kherkoff (Kuburan Belanda) memiliki status pengelolaan yang berbeda, Namun, pernyataan yang menyebutkan Gunongan di bawah pengelolaan provinsi dan Kherkoff di bawah Balai Cagar Budaya, sementara Taman Putroe Phang dikelola Pemko Banda Aceh.


“Status kepemilikan tanah menentukan pengelolaan situs sejarah tersebut,” tambah Harisman. 


Ia juga menjelaskan bahwa situs-situs sejarah yang tercatat di Pemda tetap berada di bawah pengawasan Balai Cagar Budaya.


“situs sejarah seperti Taman Purtroe Phang itu dibawah pengelolaan pemko, klo gunongan itu di bawah Provinsi,  Kherkoff langsung di bawah Balai Cagar Budaya… jadi sesuai status kepemilikan tanahnya bg… utk situs sejarah yg di catat di Pemda juga di bawah pengawasan Cagar Budaya bg,” tulisnya melalui pesan singkat WA dikirim ke acehjournalnews.com, Senin (8/9/2025).


Sebelumnya, muncul pertanyaan terkait kewenangan situs-situs cagar budaya di Kota Banda Aceh, khususnya Situs Makam Tuan Di Pakeh di Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru.


Kadisdikbud Kota Banda Aceh, Sulaiman Bakri, menyatakan bahwa situs makam tersebut tidak termasuk dalam kewenangan Disdikbud Kota Banda Aceh, melainkan kewenangan provinsi. Namun, pernyataan ini berbeda dengan yang disampaikan Kadispar Kota Banda Aceh, Said Fauzan, yang menyebutkan bahwa cagar budaya termasuk kewenangan Disdikbud sejak 2016.


Perbedaan pendapat ini menimbulkan pertanyaan tentang pengelolaan situs budaya tersebut. Sulaiman tetap mengakui bahwa makam Tuan Di Pakeh adalah kewenangan provinsi dan menyarankan untuk menanyakan langsung kepada penjaga makam.


Sulaiman juga menyebutkan bahwa Disdikbud Kota Banda Aceh mengelola 58 cagar budaya di Banda Aceh. Namun, ia tidak merinci secara spesifik cagar budaya mana saja yang dikelola. Menurutnya, cagar budaya tersebut telah dilakukan pemeliharaan oleh juru pemelihara.


Pengelolaan cagar budaya di Banda Aceh masih menjadi pertanyaan, terutama terkait kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan situs-situs budaya tersebut.


Sulaiman berharap adanya penambahan anggaran untuk verifikasi cagar budaya yang belum terakomodir, sehingga dapat menambah situs cagar budaya yang belum terverifikasi.


Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPRK Banda Aceh dari Partai Nasdem, Daniel Abdul Wahab SPd, menyatakan bahwa kepemilikan tanah menentukan status aset. “Jika kepemilikan tanah atas nama Pemerintah Kota Banda Aceh, maka itu bisa menjadi aset Pemko Banda Aceh. Namun, jika kepemilikan tanahnya milik provinsi, maka kemungkinan besar aset tersebut milik provinsi,” kata Daniel.


Daniel juga mengingatkan bahwa status tanah dapat berubah, seperti yang terjadi pada beberapa SMA/SMK yang sebelumnya milik kota namun kemudian menjadi milik provinsi.”


Menurut saya, terkait hal ini perlu dikonfirmasi kepada pihak yang berwenang yang mengetahui status kepemilikan dan pengelolaan aset untuk menghindari multitafsir. Jangan sampai terjadi saling mengklaim antara kota dan provinsi terkait kepemilikan aset.


Contohnya, SMA yang sebelumnya diklaim milik Banda Aceh padahal sudah menjadi milik provinsi, atau Madani Center yang dibangun dengan anggaran kota namun mengalami peralihan aset. Begitu juga dengan Pelabuhan Ulee Lheue yang sebelumnya milik kota Banda Aceh namun kemudian dialihkan ke provinsi, meskipun masih ada plang atas nama kota Banda Aceh.


Oleh karena itu, status kepemilikan aset harus diperjelas dengan memeriksa dokumen kepemilikan tanah dan menelusuri ke provinsi jika perlu. Seperti yang disampaikan Harisman, bidang aset perlu mengetahui siapa pemilik tanah sebelum menjabarkan kepemilikan aset tersebut.


Oleh karena itu, sebagai anggota dewan, saya berpendapat bahwa status kepemilikan aset harus diluruskan untuk menghindari multitafsir. Aset tersebut harus jelas milik siapa, apakah Pemerintah Provinsi Aceh atau Pemko Banda Aceh, sehingga penjelasan di lapangan menjadi sinkron.


“Banyak perubahan nomenklatur yang telah terjadi, seperti Pelabuhan Ulee Lheu, BMEC, dan beberapa sekolah SMA/SMK yang sebelumnya milik kota namun sekarang menjadi milik provinsi. Oleh karena itu, status kepemilikan aset harus diperjelas untuk menghindari multitafsir,” tutup Daniel. ( zoey )

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Pengelolaan Situs Sejarah di Tentukan Dengan Status Kepemilikan Tanah

Terkini